fakultas kedokteran

Karangasem, baliilu.com – Suasana yang agak berbeda nampak di aula kantor Kepala Desa Besakih, Rendang Karangasem pada Sabtu pagi, 11 Februari 2023. Sebanyak 150-an orang suntuk mendengarkan dengan antusias pemaparan beberapa narasumber dari berbagai stakeholder yang terdiri dari MFRI Jepang, JICA, Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana. Para stakeholder hadir dalam rangka menyelenggarakan FGD dengan tema ‘‘Kesiapsiagaan dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat Lereng Gunung Agung‘‘.

Para peserta sekitar 150 orang tersebut terdiri atas komite sekolah, guru-guru, kepala sekolah, kepala desa dan Bendesa Adat Besakih, Basarnas, dan BPBD. FGD bertujuan melakukan sosialisasi dan edukasi tentang mitigasi di kawasan lereng Gunung Agung. FGD menjadi bagian dari projek AGAA.

Dilibatkannya Fakultas Pariwisata Universitas Udayana dalam kerja sama tersebut karena kawasan lereng Gunung Agung merupakan daerah kunjungan wisata termasuk Pura Besakih dan beberapa DTW di sekitarnya. Sehingga diperlukan juga sosialisasi terhadap pengelolaan wisata dan wisatawan.

fgd
Sebanyak 150-an orang mengikuti FGD kesiapsiagaan bencana dari berbagai stakeholder yang terdiri dari MFRI Jepang, JICA, Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana. (Foto: ist)

Proyek AGAA (Astungkara Giri Agung Aman), adalah kegiatan untuk membangun masyarakat tangguh bencana melalui pemanfaatan perguruan tinggi lokal sebagai basis penanggulangan bencana frekuensi rendah, skala besar di lereng Gunung Agung. Proyek yang dijalankan oleh Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana (Unud) bekerja sama dengan Mount Fuji Research Institute (MFRI), NPO Volcano, Jepang dan FMIPA Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta dengan pendanaan dari Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA).

Sebelumnya mereka juga telah melakukan kegiatan pelatihan kebencanaan erupsi gunung api untuk siswa-siswa dan perwakilan guru-guru di Desa Sebudi dan Desa Besakih pada Desember 2022 lalu. Pelatihan tersebut menitikberatkan pada percobaan dan penjelasan erupsi gunung api dari sisi sains untuk lebih memahami bagaimana struktur dan karakteristik Gunung Agung.

Kepala Kalaksa BNPB Karangasem Ida Bagus Ketut Arimbawa, mewakili Bupati Karangasem, menyambut baik prakarsa dari projek AGAA karena masyarakat lereng Gunung Agung memang masih membutuhkan dukungan dari semua pihak dalam hal kesiapsiagaan bencana. “Sesuai dengan karakter masyarakat kita yang demikian gampang melupakan pengalaman-pengalaman penting termasuk erupsi Gunung Agung. Maka melalui kegiatan sosialisasi kesiapsiagan hal tersebut terus-menerus diingatkan sehingga dapat menjadi bagian dari kesadaran masyarakat. Sehingga begitu terjadi bencana, masyarakat sudah siap melakukan hal-hal penyelamatan diri dan keluarga masing-masing,” jelasnya.

jepang
Ketua MFRI, Doktor Mitsuhiro Yoshimoto, Direktur Pusat Penelitian Pencegahan Bencana Gunung Fuji. (Foto: ist)

Dari pihak Jepang sebagai Ketua MFRI, Doktor Mitsuhiro Yoshimoto, Direktur Pusat Penelitian Pencegahan Bencana Gunung Fuji membeberkan perihal bagaimana Jepang telah mengedukasi warganya secara berkesinambungan meskipun dalam kondisi normal. “Gunung Fuji selama 300 tahun terakhir belum pernah meletus, namun kami tetap melakukan pendidikan kesiapsiagaan bencana,” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut hadir pula menyampaikan sharing dua perwakilan pemerintah dua kabupaten dimana Gunung Fuji berlokasi yaitu Kota Fujiyoshida, Yamanashi oleh Mr. Takuma Kuwabara dan Kawaguchiko, Yamanashi diwakili oleh Mr. Keigo Fujimaki.

Sementara itu peneliti dari Geofisika FMIPA UGM, Doktor Wiwit Suryanto, menjelaskan bahwa tema membangun masyarakat tahan bencana bersama perguruan tinggi lokal sebagai basis penanggulangan bencana frekwensi rendah dan besar, sengaja dipilih agar pasca-project kegiatan sosialisasi tetap bisa berlangsung secara simultan. Ia juga menjelaskan bahwa antara Indonesia dan Jepang memiliki kemiripan, yakni sama-sama memiliki banyak gunung api, namun gunung api di Indonesia jauh lebih aktif daripada gunung api di Jepang. Selain itu kemiripan yang lain adalah ternyata masyarakat di kedua negara sama-sama memiliki kepercayaan yang kuat tentang gunung api, yang pada situasi tertentu akhirnya bersikap abai dan menjadi korban bencana.

Pada kesempatan tersebut diperagakan pula proses terjadinya erupsi gunung api dengan menggunakan peralatan akuarium akrilik dan peta maket tiga dimensi. Para peserta pun meriung mengitari kedua peralatan tersebut hingga menjelang sore hari. Sumber: https://www.unud.ac.id/in/berita5366-Dari-FGD-Kesiapsiagaan-Bencana-MFRI-UGM-dan-Universitas-Udayana-Bergerak-Bersama-untuk-Kesiapsiagaan-Bencana-Erupsi-Gunung-Api-.html (gs/bi)